Rabu, 29 Juni 2016

MAKALAH PARASITOLOGI "Teknik Pemeriksaan Parasit Pada Sampel Feses"



MAKALAH PARASITOLOGI
“TEKNIK PEMERIKSAAN PARASIT PADA SAMPEL FESES”






DISUSUN OLEH:
YANUARDI IKHSAN
NIM: 14.72.015806
PROGRAM STUDI ANALIS KESEHATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA
2015
KATA PENGANTAR


            Puji syukur kehadirat kita Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah perbaikan nilai mata kuliah Parasitologi I dengan judul “Teknik pemeriksaan parasit pada sampel feses” dengan baik dan sesuai dengan ketentuan yang diberikan.
           
            Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai perbaikan nilai dalam mata kuliah Parasitologi I dan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan yang bersangkutan untuk kelancaran proses belajar mengajar.

            Adapun dalam penyusunan makalah ini kami mohon maaf jika terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun isi materi yang kami susun. semoga dengan tersusunnya makalah ini, dapat berguna bagi yang bersangkutan dan orang lain.


Palangka Raya, 8 September 2015
Hormat kami


Yanuardi Ikhsan












DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

I.                   BAB I       : PENDAHULUAN
a.       Latar belakang
II.                BAB II      : PEMBAHASAN
a.       Macam – macam
a.1. Metode natif
a.2. Metode sentrifuse
a.3. Metode Mc Master
a.4. Metode Sarfitt and Banks

III.             BAB III    : HASIL
a.       Hasil 1
b.      Hasil 2
IV.             BAB IV    : PEMBAHASAN
V.                BAB V      : KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA










BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Cacing merupakan salah satu parasit yang menghinggapi manusia. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tetap ada dan masih tinggi prevalensinya, terutama di daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia. Hal ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih perlu ditangani. Penyakit infeksi yang disebabkan cacing itu dapat di karenakan di daerah tropis khususnya Indonesia berada dalam posisi geografis dengan temperatur serta kelembaban yang cocok untuk berkembangnya cacing dengan baik (Kadarsan,2005).
Hasil survey di  beberapa tempat menunjukkan prevalensi antara 60%-90% pada anak usia sekolah dasar. Salah satu penyakit infeksi  yang masih banyak terjadi pada penduduk di Indonesia adalah yang disebabkan golongan Soil-Transmitted Helminth, yaitu golongan nematode usus  yang dalam penularannya atau dalam siklus hidupnya melalui media tanah. Cacing yang tergolong dalam Soil-Transmitted Helminth adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis serta cacing tambang yaitu Necator americanus dan  Ancylostoma duodenale (Siregar, 2006)
Dalam identifikasi infeksinya perlu adanya pemeriksaan, baik dalam keadaan cacing yang masih hidup ataupun yang telah dipulas. Cacing yang akan diperiksa tergantung dari jenis parasitnya. Untuk cacing atau protozoa usus akan dilakukan pemeriksaan melalui feses atau tinja (Kadarsan,2005).
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya. Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara melacak dan mengenal stadium parasit yang ditemukan. Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejala klinik kurang dapat dipastikan (Gandahusada, Pribadi dan Herry, 2000).

Makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana teknik pemeriksaan parasit pada feses(tinja). Mengetahui bagaimana teknik dan cara yang dilakukan untuk pemeriksaan. Untuk hasil yang nantinya akan jadi rujukan rumah sakit atau dokter dalam penyempurnaan diagnosa penyakit pada pasien. Hal ini perlu dilakukan sebagai pengetahuan mahasiswa atau yang memerlukan agar tidak ada kesalahan dalam teknik pemeriksaan feses.




BAB II
METODE/TENIK PEMERIKSAAN

Feses adalah sisa hasil pencernaan dan absorbsi dari makanan yang kita makan yang dikeluarkan lewat anus dari saluran cerna.Jumlah normal produksi 100 – 200 gram / hari. Terdiri dari air, makanan tidak tercerna, sel epitel, debris, celulosa, bakteri dan bahan patologis, Jenis makanan serta gerak peristaltik mempengaruhi bentuk, jumlah maupun konsistensinya dengan frekuensi defekasi normal 3x per-hari sampai 3x per-minggu.
Pemeriksaan feses ( tinja ) adalah salah satu pemeriksaan laboratorium yang telah lama dikenal untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis suatu penyakit. Meskipun saat ini telah berkembang berbagai pemeriksaan laboratorium yang modern , dalam beberapa kasus pemeriksaan feses masih diperlukan dan tidak dapat digantikan oleh pemeriksaan lain. Pengetahuan mengenai berbagai macam penyakit yang memerlukan pemeriksaan feses , cara pengumpulan sampel yang benar serta pemeriksan dan interpretasi yang benar akan menentukan ketepatan diagnosis yang dilakukan oleh klinisi. Berdasarkan gejala klinis dan dari pemeriksaan umum dan khusus. Dilakukan juga pemeriksaan feses dan pemeriksaan darah untuk mendukung hasil diagnosis. Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode natif, metode sentrifuse, metode Parfitt and Banks, atau metode McMaster

1.    Metode Natif
                 Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Salah satu metode kualitatif adalah metode natif. Metode natif dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan lugol atau eosin 2%. Penggunaan eosin dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran di sekitarnya. Kelebihan metode ini adalah mudah dan cepat dalam pemeriksaan telur cacing semua spesies, biaya yang diperlukan sedikit, serta peralatan yang digunakan juga sedikit. Sedangkan kekurangan metode ini adalah dilakukannya hanya untuk infeksi berat, infeksi ringan sulit dideteksi. Metode natif dilakukan dengan cara mencampur feses dengan sedikit air dan meletakkannya di atas gelas obyek yang ditutup dengan deckglass dan memeriksa di bawah mikroskop.



2.    Metode sentrifus
                 Metode sentrifus dilakukan dengan cara 2 gram feses yang akan diperiksa ditaruh dalam mortir, dan ditambahkan sedikit air ke dalamnya kemudian diaduk sampai larut. Larutan ini dituangkan ke dalam tabung sampai ¾ tabung dan disentrifuse selama 5 menit. Hasil dari proses sentrifuse adalah cairan jernih dan endapan. Cairan jernih diatas endapan tersebut dibuang dan sebagai gantinya dituangkan NaCl jenuh di atas endapan sampai ¾ tabung. Larutan ini diaduk sampai merata dan disentrifuse lagi selama 5 menit. Setelah disentrifuse tabung tersebut diletakkan diatas rak dengan posisi tegak dan ditambahkan lagi NaCl jenuh sampai permukaan cairan menjadi cembung, diamkan selama 3 menit. Untuk mendapatkan telur cacing, obyek gelas diletakkan pada permukaan yang cembung dan dibalik dengan hati-hati, kemudian ditutup dengan deckglass dan periksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 10×10.

3.    Metode Mc.Master
                 Penghitungan jumlah telur cacing dan oosista yang dieliminasikan per gram tinja dilakukan dengan metode Mc.Master. Metode ini dilakukan dengan mencampurkan 1 gram tinja dengan aquadestilata sampai volumenya mencapai 15 ml dan diaduk dengan pengaduk (magnetik stirrer) sampai merata. Sementara menunggu meratanya campuran tadi, dobel obyek gelas disiapkan dan diisi dengan larutan gula jenuh sebanyak 0,3 ml menggunakan spuit ukuran 1 cc. Dalam keadaan teraduk larutan tinja diambil sebanyak 0,3 ml dan dimasukkan dalam dobel obyek gelas yang telah berisi larutan gula jenuh tadi. Campuran tinja dan gula jenuh ini diaduk dengan jarum sampai merata dan didiamkan selama 3 menit. Dobel obyek gelas ini diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 10×10 dan telur cacing serta oosista yang menempel pada obyek gelas yang terhitung dikalikan 50.

4.    Metode Parfitt and Banks 
Metode ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing pada feses (tinja) dengan menggunakan uji endap (sedimentasi), dengan prosedur mengambil 3 gram feses (tinja) dan digerus dengan morir. Lalu campuran tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi sampai setinggi 1 cm dari mulut tabung dan didiamkan selama 10 menit sampai terlihat endapan. Cairan diambil dengan pipt tetes sehingga tinggal endapan saja. Kemudian ditambahkan air pada endapan tadi setinggi 1 cm dari mulut tabung dan dikocok. Lalu didiamkan lagi selama 10 menit sampai terlihat endapan. Cairan jernih dibuang, lalu diteteskan NaOH 10% sebanyak 3 tetes dan ditambah aquadest setinggi 1 cm dari mulut tabung, dikocok dan didiamkan selama 10 menit sampai terlihat endapan. Cairan jernih dibuang lagi. Kemudian diteteskan methylen blue sebanyak 3 tetes dan diaduk. Lalu diambil endapan yang paling bawah dan diletakkan di atas gelas objek dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop (10 x 10).










  



















BAB III
HASIL (REKAYASA)

A.            Hasil 1
Pada pemeriksaan feses ini, sebelumnya telah diambil sampel feses dari anak kelas 3  SD Negeri 1 bukit tunggal Palangkaraya dengan data tertera di bawah ini:
nama         :   Rizqi Pertama
umur          :  10 tahun
alamat       :   Jalan Rajawali 7 gang Srikandi II Palangkaraya
Metode
Hasil Pengamatan
Nama Cacing
Telur (+/-)
Apung dengan sentrifugasi
Ascaris lumbricoides
-
Trichuris trichiura
-
Cacing tambang
-
Strongyloides stercoralis
-
Apung tanpa sentrifugasi
Ascaris lumbricoides
-
Trichuris trichiura
-
Cacing tambang
-
Strongyloides stercoralis
-
Dari percobaan yang kelompok saya lakukan dengan menggunakan metode apung seperti pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan menunjukkan hasil negatif.











B.            Hasil 2
Pada pemeriksaan feses ini, sebelumnya telah diambil sampel feses dari anak kelas 3  SMP Negeri 3Palangkaraya dengan data tertera di bawah ini:
nama         :  M. Irfan S.
umur          : 13 tahun
alamat       :  Jalan Sangga Buana III no. 58
Metode
Hasil Pengamatan
Nama Cacing
Telur (+/-)
Harada Mori
Trichuris trichiura
-
Cacing tambang
+
Strongyloides stercoralis
-
Dari percobaan yang kelompok saya lakukan dengan menggunakan metode Harada Mori seperti pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan menunjukkan hasil positif dengan ditemukanya larva pada pengamatan yang kami lakukan di bawah mikroskop, yang diduga sebagai  larva cacing tambang.


















BAB IV
PEMBAHASAN

Dalam penjelasan  ini,  teknik pemeriksaan  menggunakan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) dan metode modifikasi Harada Mori. Kelebihan dan kekurangan masing-masing metode yang digunakan dalam praktikum, yaitu:
1.      Metode Apung Dengan Sentrifugasi
a.       Kelebihan
1)        Dapat digunakan untuk infeksi ringan dan berat.
2)        Kotoran feses yang melekat pada telur dapat terlepas dengan adanya proses sentrifugasi sehingga feses dapat terlihat jelas.
b.      Kekurangan
1)        Membutuhkan waktu yang lama.
2)        Membutuhkan ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi.
2.      Metode Apung Tanpa Sentrifugasi
a.       Kelebihan
1)        Dapat digunakan untuk infeksi ringan dan berat.
2)        Telur dapat terlihat jelas.
b.      Kekurangan
1)        Menggunakan banyak feses.
2)        Membutuhkan waktu yang lama.
3)        Membutuhkan ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi.
3.      Metode Modifikasi Harada Mori
a.    Kelebihan: Lebih mudah dilakukan karena hanya umtuk mengidentifikasi larva infektif mengingat bentuk larva jauh lebih besar di bandingkan dengan telur.
b.    Kekurangan
1)        Dilakukan hanya untuk identifikasi infeksi cacing tambang.
2)        Waktu yang dibutuhkan lama
3)        Memerlukan peralatan yang banyak.


Dilihat dari tabel hasil 1 di atas, pemeriksaan feses Rizqi menggunakan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) tidak ditemukan telur parasit dalam  praktikum ini. Berarti, Rizqi tidak terinfeksi parasit. Padahal jika diamati dari keadaan  tempat tinggal dan lingkungan sekitar, dapat dikatakan kurang sehat. Apalagi terdapat kadang kambing di samping tempat tinggalnya, yang biasanya kambing merupakan salah satu hospes perantara pada penularan parasit. Hasil negatif pada metode apung yang dilaksanakan dapat disebabkan oleh:
1.      Sampel atau feses diperoleh dari orang yang sehat (tidak terinfeksi cacing parasit usus).
2.      Kurang ketelitian dan kecerobohan praktikan dalam melakukan praktikum.
3.      Kurangnya pemahaman praktikan pada bentuk morfologi telur cacing parasit.
4.      Praktikan belum terlalu mampu untuk menggunakan mikroskop.
5.      Pada saat diambil fesesnya, cacing belum bertelur sehingga tidak ditemukkan telur pada feses.
6.      Kesalahan saat awal pengambilan feses, apakah diambil pada tempat pembuangan/kloset atau tidak langsung dari perianal, dan kemungkinan tercampur dengan urin.
Pada pengamatan feses ini, yang mungkin  ditemukan adalah telur Ascaris lumbricoides, telur Trichiuris trichiura, telur cacing tambang, dan larva rhabditiform Strongyloides stercoralis.
 Ascaris lumbricoides mempunyai 2 jenis telur, yaitu: telur yang sudah dibuahi (telur fertil) dan telur yang belum dibuahi (telur infertil). Telur yang sudah dibuahi memiliki ciri-ciri: oval, berdinding tebal, berwarna kekuning-kuningan diliputi lapisan albuminoid yang tidak rata, isinya embrio yang belum masak. Sedangkan telur yang belum dibuahi memiliki cirri-ciri: lonjong, lebih panjang, dinding biasanya lebih tipis berisi granula(Soedarto,2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Rizqi, sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi  parasit Ascaris lumbricoides.
Telur Trichuris trichiura berukuran 50x25 µ, berbentuk mirip tempayan kayu atau biji melon, berwarna cokelat, dan memiliki 2 kutub jernih yang menonjol (Soedarto,2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Rizqi, sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi  parasit Trichuris trichiura.


Morfologi telur antar cacing tambang sulit dibedakan. Telur cacing tambang berbentuk lonjong, dengan ukuran sekitar 64x40 µ. Telur tidak berwarna dan berdinding tipis yang tembus sinar. (Soedarto 2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Rizqi, sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi  parasit cacing tambang.
Telur cacing Strongyloides stercoralis berukuran 55 x 30 µ, berbentuk lonjong mirip cacing tambang, mempunyai dinding tipis dan transparan. Telur diletakkan di dalam mucosa usus, kemudian menetas menjadi larva rabditiform, sehingga tidak ditemukan telur dalam tinja. Larva rhabditiform mempunyai ukuran 200 – 250µ, memiliki esophagus dan bulbus esophagus yang mengisi ¼ bagian anterior (Soedarto, 2011). Ciri-ciri larva yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Rizqi, sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi  parasit Strongyloides stercoralis
Dilihat dari tabel hasil 2 di atas, pemeriksaan feses Irfan menggunakan metode Harada Mori ditemukan larva parasit dalam  praktikum ini. Berarti, Irfan diduga terinfeksi parasit cacing tambang.
Menurut Shahid, dkk (2010), Harada Mori merupakan metode yang paling efektif untuk mendeteksi cacing tambang. Terbukti bahwa metode Harada Mori memiliki ketelitian lebih dibandingkan dengan metode pemeriksaan tinja yang lain dalam mendeteksi cacing tambang. Jika dilakukan dengan benar, metode ini sensitif, sederhana, ekonomis dan mudah dilakukan.
Manusia merupakan hospes satu-satunya bagi cacing tambang. Telur cacing tambang spesies Necator americanus dan Ancylostoma duodenale sulit dibedakan satu dengan yang lain, perbedaan hanya sedikit dalam hal ukurannya, yaitu Necator americanus berukuran 64 x 36 µ, sedangkan Ancylostoma duodenale berukuran 56 x 36 µ. Telur ini keluar bersama feses penderita, setelah 1-2 hari akan menetas menjadi larva rabditiform. Setelah mengalami pergantian kulit 2 kali, larva rabditiform berubah menjadi  larva filariform (Shahid dkk, 2010).
Larva filariform cacaing tambang adalah larva infektif untuk manusia. Larva ini  berukuran 500 – 700 µ, tidak mempunyai rongga mulut dan bulbus esophagus (Soedarto, 2011). Ciri-ciri larva yang telah disebutkan di atas terdapat pada pengamatan feses Irfan dengan metode harada mori sehingga Irfan diduga terinfeksi  parasit cacing tambang.





Hasil positif  pada metode Harada Mori yang dilaksanakan dapat disebabkan oleh:
1.      Faktor pendidikan: tingkat pendidikan pasien yang masih rendah, sehingga pengertian terhadap kebersian dan kesehatan pribadi serta lingkungan sangatlah rendah, misalnya kebiasaan buang besar di sembarang tempat (di tanah), tidak menggunakan alas kaki dalam kegiatan sehari-hari di luar rumah dan sering sekali tidak mencuci tangan sebelum makan.
2.      Faktor sosio-ekonomi: keluarga pasien berpenghasilan rendah, sehingga menyebabkan ketidakmampuan untuk menyediakan sanitasi perorangan maupun lingkungan. (Hairani dan Annida, 2012)

Gejala infeksi cacing tambang dapat disebabkan oleh larva maupun cacing dewasa. Pada saat larva menembus kulit terbentuk maculopapula dan erithema yang sering disertai rasa gatal (ground itch). Migrasi larva ke paru dapat menimbulkan bronchitis atau pneumonitis. Cacing dewasa yang melekat dan melukai mukosa usus akan menimbulkan perasaan tidak enak di perut, mual dan diare. Seekor cacing dewasa mengisap darah 0,2 – 0,3 ml/hari, sehinnga dapat menimbulkan anemia progresif, hypokromik, mikrositer, type efisiensi besi. Biasanya gejala klinik timbul setelah tampak adanya anemi, pada infeksi berat, haemoglobin dapat turun hingga 2 gr %, sesak nafas, lemah dan pusing kepala. Kelemahan jantung dapat terjadi karena perubahan pada jantung yang berupa hypertropi, bising katub serta nadi cepat. Infeksi pada anak dapat menimbulkan keterbelakangan fisik dan mental. Infeksi Ancylostoma duodenale lebih  berat dari pada infeksi oleh Necator americanus (Shahid dkk, 2010).
Oleh karena itu, untuk dapat mengatasi infeksi cacing secara tuntas, maka upaya pencegahan dan terapi merupakan usaha yang sangat bijaksana dalam memutus siklus penyebaran infeksinya. Pemberian obat anti cacing secara berkala setiap 6 bulan dapat pula dikerjakan. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan serta sumber bahan pangan adalah merupakan sebagian dari usaha pencegahan untuk menghindari dari infeksi cacing.






Memasyarakatkan cara-cara hidup sehat, terutama pada anak-anak usia sekolah dasar, dimana usia ini merupakan usia yang sangat peka untuk menanamkan dan memperkenalakan kebiasaan-kebiasaan baru yaitu kebiasaan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala seperti:
1.      Membudayakan kebiasaan dan perilaku pada diri sendiri, anak dan keluarga untuk mencuci tangan sebelum makan.
2.      Memakai alas kaki jika menginjak tanah.
3.      Menggunting dan membersihkan kuku secara teratur.
4.      Tidak buang air besar sembarangan dan cuci tangan saat membasuh.
5.      Bercocok tanam atau berkebun dengan baik.
6.      Peduli dengan lingkungan.
7.      Mencucilah sayur dengan baik sebelum diolah.
8.      Berhati-hati saat makan makanan mentah atau setengah matang, terutama di daerah yang sanitasinya buruk.
9.      Membuang kotoran hewan peliharaan kesayangan pada tempat pembuangan khusus.
10.  Melakukan pencegahan dengan meminum obat anti cacing setiap 6 bulan, terutama bagi yang risiko tinggi terkena infestasi cacing, seperti petani, anak-anak yang sering bermain pasir, pekerja kebun, dan pekerja tambang (orang-orang yang terlalu sering berhubungan dengan tanah.
11.  Jika penyakit kecacingan ini sudah menjangkit sebaiknya dilakukan pengobatan dengan cara penanganan untuk mengatasi infeksi cacing dengan obat-obatan merupakan pilihan yang dianjurkan. Obat anti cacing golongan pirantel pamoat (combantrin dan lain-lain) merupakan anti cacing yang efektif untuk mengatasi sebagian besar infeksi yang disebabkan parasit cacing. Intervensi berupa pemberian obat cacing (obat pirantel pamoat 10 mg/ kg BB dan albendazole 10 mg/kg BB) dosis tunggal diberikan tiap 6 bulan pada anak untuk mengurangi angka kejadian infeksi ini pada suatu daerah. Paduan yang serasi antara upaya prevensi dan terapi akan memberikan tingkat keberhasilan yang memuaskan, sehingga infeksi cacing secara perlahan dapat diatasi secara maksimal, tuntas dan paripurna. (Athiroh, 2005)

  



BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka dapat saya simpulkan sebagai berikut:
1.      Hasil yang didapat dari pemeriksaan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) adalah negatif, yang artinya bahwa tidak ditemukan telur dalam feses yang telah di periksa sehingga diduga pasien tidak terinfeksi cacing.
2.      Hasil yang didapat dari pemeriksaan metode Harada mori adalah positif, yang artinya bahwa ditemukan  larva dalam  tinja yang telah di periksa sehingga pasien diduga terinfeksi cacing tambang.
3.      Bentuk telur, larva, atau cacing parasit berbeda-beda, masing-masing memiliki morfologi yang khas yang membedakan cacing yang satu dengan yang lain.






















DAFTAR PUSTAKA

Athiroh, N. 2005. Petunjuk Praktikum Parasitologi. Malang: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Islam Malang.
Gandahusada, S.W. Pribadi dan D.I. Herry. 2000. Parasitologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Jakarta.
Hairani, Budi dan Annida. 2012. “Insidensi Parasit Pencernaan pada Anak Sekolah Dasar di Perkotaan dan Pedesaan di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang, Volume 4(2): 102-108.
Kadarsan,S. 2005. Binatang Parasit. Bogor: Lembaga Biologi Nasional-LIPI.       
Palgunadi, Bagus Uda. 2010. “Faktor-Faktor Yang Mempengruhi Kejadian Kecacingan Yang Disebabkan Oleh Soil-Transmitted Helminth Di Indonesia”, Jurnal, Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Shahid, dkk. 2010. ”Identicifation of Hookworm Species in Stool By Harada Mori Culture”, Bangladesh J Med Microbiol, Volume 04(02): 03-04.
Siregar, Charles D. 2006. “Pengaruh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Tanah pada Pertumbuhan Fisik Anak Usia Sekolah Dasar”. Sari Pediatri, Volume 8(2): 112-117
Soedarto, 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: CV Agung Seto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar