MAKALAH PARASITOLOGI
“TEKNIK PEMERIKSAAN PARASIT
PADA SAMPEL FESES”
DISUSUN OLEH:
YANUARDI IKHSAN
NIM: 14.72.015806
PROGRAM STUDI ANALIS KESEHATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat kita
Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah perbaikan nilai mata kuliah Parasitologi I dengan
judul “Teknik pemeriksaan parasit pada sampel feses” dengan baik dan sesuai
dengan ketentuan yang diberikan.
Tujuan pembuatan makalah
ini adalah sebagai perbaikan nilai dalam mata kuliah Parasitologi I dan sebagai
acuan dalam pengambilan keputusan yang bersangkutan untuk kelancaran proses
belajar mengajar.
Adapun dalam penyusunan makalah
ini kami mohon maaf jika terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun isi
materi yang kami susun. semoga dengan tersusunnya makalah ini, dapat berguna
bagi yang bersangkutan dan orang lain.
Palangka
Raya, 8 September 2015
Hormat kami
Yanuardi Ikhsan
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
I.
BAB I : PENDAHULUAN
a. Latar belakang
II.
BAB II : PEMBAHASAN
a. Macam – macam
a.1. Metode natif
a.2. Metode sentrifuse
a.3. Metode Mc Master
a.4. Metode Sarfitt and Banks
III.
BAB III : HASIL
a. Hasil 1
b. Hasil 2
IV.
BAB IV : PEMBAHASAN
V.
BAB V : KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Cacing merupakan
salah satu parasit yang menghinggapi manusia. Penyakit infeksi yang disebabkan
oleh cacing masih tetap ada dan masih tinggi prevalensinya, terutama di daerah
yang beriklim tropis seperti Indonesia. Hal ini merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang masih perlu ditangani. Penyakit infeksi yang disebabkan cacing
itu dapat di karenakan di daerah tropis khususnya Indonesia berada dalam posisi
geografis dengan temperatur serta kelembaban yang cocok untuk berkembangnya
cacing dengan baik (Kadarsan,2005).
Hasil survey di beberapa tempat menunjukkan prevalensi antara 60%-90%
pada anak usia sekolah dasar. Salah satu penyakit infeksi yang masih
banyak terjadi pada penduduk di Indonesia adalah yang disebabkan golongan Soil-Transmitted
Helminth, yaitu golongan nematode usus yang dalam penularannya atau
dalam siklus hidupnya melalui media tanah. Cacing yang tergolong dalam Soil-Transmitted
Helminth adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides
stercoralis serta cacing tambang yaitu Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale (Siregar, 2006)
Dalam
identifikasi infeksinya perlu adanya
pemeriksaan, baik dalam keadaan cacing yang masih hidup ataupun yang telah
dipulas. Cacing yang akan diperiksa tergantung dari jenis parasitnya. Untuk
cacing atau protozoa usus akan dilakukan pemeriksaan melalui feses atau tinja
(Kadarsan,2005).
Pemeriksaan
feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun larva
yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan untuk mendiagnosa
tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya.
Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat dari
pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk
mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara
melacak dan mengenal stadium parasit yang ditemukan. Sebagian besar infeksi
dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium
sangat dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejala klinik
kurang dapat dipastikan (Gandahusada, Pribadi dan
Herry, 2000).
Makalah ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana teknik pemeriksaan parasit pada
feses(tinja). Mengetahui bagaimana teknik dan cara yang dilakukan untuk
pemeriksaan. Untuk hasil yang nantinya akan jadi rujukan rumah sakit atau
dokter dalam penyempurnaan diagnosa penyakit pada pasien. Hal ini perlu
dilakukan sebagai pengetahuan mahasiswa atau yang memerlukan agar tidak ada
kesalahan dalam teknik pemeriksaan feses.
BAB II
METODE/TENIK PEMERIKSAAN
Feses adalah sisa hasil pencernaan
dan absorbsi dari makanan yang kita makan yang dikeluarkan lewat anus dari
saluran cerna.Jumlah normal produksi 100 – 200 gram / hari. Terdiri dari air,
makanan tidak tercerna, sel epitel, debris, celulosa, bakteri dan bahan
patologis, Jenis makanan serta gerak peristaltik mempengaruhi bentuk, jumlah
maupun konsistensinya dengan frekuensi defekasi normal 3x per-hari sampai 3x
per-minggu.
Pemeriksaan feses ( tinja ) adalah
salah satu pemeriksaan laboratorium yang telah lama dikenal untuk membantu
klinisi menegakkan diagnosis suatu penyakit. Meskipun saat ini telah berkembang
berbagai pemeriksaan laboratorium yang modern , dalam beberapa kasus
pemeriksaan feses masih diperlukan dan tidak dapat digantikan oleh pemeriksaan lain.
Pengetahuan mengenai berbagai macam penyakit yang memerlukan pemeriksaan feses
, cara pengumpulan sampel yang benar serta pemeriksan dan interpretasi yang
benar akan menentukan ketepatan diagnosis yang dilakukan oleh klinisi.
Berdasarkan gejala klinis dan dari pemeriksaan umum dan khusus. Dilakukan juga
pemeriksaan feses dan pemeriksaan darah untuk mendukung hasil diagnosis.
Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode natif, metode sentrifuse,
metode Parfitt and Banks, atau metode McMaster
1.
Metode Natif
Pemeriksaan
feses dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Salah satu
metode kualitatif adalah metode natif. Metode natif dipergunakan untuk
pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi
ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan
lugol atau eosin 2%. Penggunaan eosin dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan
telur-telur cacing dengan kotoran di sekitarnya. Kelebihan metode ini adalah mudah dan cepat dalam pemeriksaan
telur cacing semua spesies, biaya yang diperlukan sedikit, serta peralatan yang
digunakan juga sedikit. Sedangkan kekurangan metode ini adalah dilakukannya
hanya untuk infeksi berat, infeksi ringan sulit dideteksi. Metode natif
dilakukan dengan cara mencampur feses dengan sedikit air dan meletakkannya di
atas gelas obyek yang ditutup dengan deckglass dan memeriksa di bawah
mikroskop.
2.
Metode sentrifus
Metode
sentrifus dilakukan dengan cara 2 gram feses yang akan diperiksa ditaruh dalam
mortir, dan ditambahkan sedikit air ke dalamnya kemudian diaduk sampai larut.
Larutan ini dituangkan ke dalam tabung sampai ¾ tabung dan disentrifuse selama
5 menit. Hasil dari proses sentrifuse adalah cairan jernih dan endapan. Cairan
jernih diatas endapan tersebut dibuang dan sebagai gantinya dituangkan NaCl
jenuh di atas endapan sampai ¾ tabung. Larutan ini diaduk sampai merata dan
disentrifuse lagi selama 5 menit. Setelah disentrifuse tabung tersebut
diletakkan diatas rak dengan posisi tegak dan ditambahkan lagi NaCl jenuh
sampai permukaan cairan menjadi cembung, diamkan selama 3 menit. Untuk
mendapatkan telur cacing, obyek gelas diletakkan pada permukaan yang cembung
dan dibalik dengan hati-hati, kemudian ditutup dengan deckglass dan periksa
dibawah mikroskop dengan perbesaran 10×10.
3.
Metode Mc.Master
Penghitungan
jumlah telur cacing dan oosista yang dieliminasikan per gram tinja dilakukan
dengan metode Mc.Master. Metode ini dilakukan dengan mencampurkan 1 gram tinja
dengan aquadestilata sampai volumenya mencapai 15 ml dan diaduk dengan pengaduk
(magnetik stirrer) sampai merata. Sementara menunggu meratanya campuran tadi,
dobel obyek gelas disiapkan dan diisi dengan larutan gula jenuh sebanyak 0,3 ml
menggunakan spuit ukuran 1 cc. Dalam keadaan teraduk larutan tinja diambil
sebanyak 0,3 ml dan dimasukkan dalam dobel obyek gelas yang telah berisi
larutan gula jenuh tadi. Campuran tinja dan gula jenuh ini diaduk dengan jarum
sampai merata dan didiamkan selama 3 menit. Dobel obyek gelas ini diperiksa
dibawah mikroskop dengan perbesaran 10×10 dan telur cacing serta oosista yang
menempel pada obyek gelas yang terhitung dikalikan 50.
4.
Metode Parfitt and Banks
Metode ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
telur cacing pada feses (tinja) dengan menggunakan uji endap (sedimentasi),
dengan prosedur mengambil 3 gram feses (tinja) dan digerus dengan morir. Lalu
campuran tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi sampai setinggi 1 cm dari
mulut tabung dan didiamkan selama 10 menit sampai terlihat endapan. Cairan
diambil dengan pipt tetes sehingga tinggal endapan saja. Kemudian ditambahkan
air pada endapan tadi setinggi 1 cm dari mulut tabung dan dikocok. Lalu
didiamkan lagi selama 10 menit sampai terlihat endapan. Cairan jernih dibuang,
lalu diteteskan NaOH 10% sebanyak 3 tetes dan ditambah aquadest setinggi 1 cm
dari mulut tabung, dikocok dan didiamkan selama 10 menit sampai terlihat
endapan. Cairan jernih dibuang lagi. Kemudian diteteskan methylen blue sebanyak
3 tetes dan diaduk. Lalu diambil endapan yang paling bawah dan diletakkan di
atas gelas objek dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop (10 x 10).
BAB III
HASIL (REKAYASA)
A. Hasil 1
Pada pemeriksaan feses ini, sebelumnya telah diambil
sampel feses dari anak kelas 3 SD
Negeri 1 bukit tunggal Palangkaraya dengan data tertera di bawah ini:
nama
: Rizqi Pertama
umur
: 10 tahun
alamat
: Jalan Rajawali 7 gang Srikandi II Palangkaraya
Metode
|
Hasil Pengamatan
|
|
Nama Cacing
|
Telur (+/-)
|
|
Apung dengan sentrifugasi
|
Ascaris lumbricoides
|
-
|
Trichuris trichiura
|
-
|
|
Cacing tambang
|
-
|
|
Strongyloides stercoralis
|
-
|
|
Apung tanpa sentrifugasi
|
Ascaris lumbricoides
|
-
|
Trichuris trichiura
|
-
|
|
Cacing tambang
|
-
|
|
Strongyloides stercoralis
|
-
|
Dari percobaan yang kelompok saya lakukan dengan menggunakan metode apung seperti pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa
hasil pemeriksaan menunjukkan hasil negatif.
B. Hasil 2
Pada pemeriksaan feses ini, sebelumnya telah diambil
sampel feses dari anak kelas 3 SMP
Negeri 3Palangkaraya dengan data tertera di bawah ini:
nama
: M. Irfan S.
umur
: 13 tahun
alamat
: Jalan Sangga Buana III no. 58
Metode
|
Hasil Pengamatan
|
|
Nama Cacing
|
Telur (+/-)
|
|
Harada Mori
|
Trichuris trichiura
|
-
|
Cacing tambang
|
+
|
|
Strongyloides stercoralis
|
-
|
Dari percobaan yang kelompok saya lakukan dengan menggunakan metode Harada Mori seperti pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa hasil
pemeriksaan menunjukkan hasil positif dengan ditemukanya larva pada pengamatan yang kami lakukan di bawah mikroskop,
yang
diduga sebagai larva cacing tambang.
BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam penjelasan ini, teknik pemeriksaan menggunakan metode apung (dengan dan tanpa
disentrifugasi) dan metode modifikasi Harada Mori. Kelebihan dan kekurangan masing-masing metode yang
digunakan dalam praktikum, yaitu:
1. Metode Apung Dengan Sentrifugasi
a. Kelebihan
1)
Dapat digunakan untuk infeksi ringan dan berat.
2)
Kotoran feses yang melekat pada telur dapat terlepas dengan adanya
proses sentrifugasi sehingga feses dapat terlihat jelas.
b. Kekurangan
1)
Membutuhkan
waktu yang lama.
2)
Membutuhkan ketelitian tinggi agar telur
di permukaan larutan tidak turun lagi.
2. Metode Apung Tanpa Sentrifugasi
a. Kelebihan
1)
Dapat digunakan untuk infeksi ringan dan berat.
2)
Telur dapat terlihat jelas.
b. Kekurangan
1)
Menggunakan banyak feses.
2)
Membutuhkan waktu yang lama.
3)
Membutuhkan ketelitian tinggi agar telur
di permukaan larutan tidak turun lagi.
3. Metode Modifikasi Harada Mori
a.
Kelebihan: Lebih
mudah dilakukan karena hanya umtuk mengidentifikasi larva infektif mengingat
bentuk larva jauh lebih besar di bandingkan dengan telur.
b.
Kekurangan
1)
Dilakukan hanya
untuk identifikasi infeksi cacing tambang.
2)
Waktu yang
dibutuhkan lama
3)
Memerlukan
peralatan yang banyak.
Dilihat dari tabel hasil 1 di atas, pemeriksaan feses Rizqi menggunakan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) tidak
ditemukan telur parasit dalam praktikum ini. Berarti, Rizqi tidak terinfeksi parasit. Padahal jika diamati dari keadaan tempat tinggal dan lingkungan
sekitar, dapat dikatakan kurang sehat.
Apalagi terdapat kadang kambing di samping tempat tinggalnya, yang biasanya kambing merupakan salah satu hospes perantara
pada penularan parasit. Hasil negatif pada metode apung yang dilaksanakan dapat disebabkan oleh:
1. Sampel atau feses diperoleh
dari orang yang sehat (tidak terinfeksi cacing
parasit usus).
2. Kurang ketelitian dan
kecerobohan praktikan dalam melakukan praktikum.
3. Kurangnya pemahaman praktikan
pada bentuk morfologi telur cacing parasit.
4. Praktikan belum terlalu mampu untuk menggunakan
mikroskop.
5. Pada saat diambil fesesnya,
cacing belum bertelur sehingga tidak ditemukkan telur pada feses.
6. Kesalahan saat awal pengambilan feses, apakah diambil pada tempat pembuangan/kloset atau
tidak langsung dari perianal, dan kemungkinan tercampur dengan urin.
Pada
pengamatan feses ini, yang mungkin ditemukan adalah telur Ascaris
lumbricoides, telur Trichiuris trichiura, telur cacing tambang, dan
larva rhabditiform Strongyloides stercoralis.
Ascaris
lumbricoides mempunyai 2 jenis telur, yaitu: telur yang sudah dibuahi
(telur fertil) dan telur yang belum dibuahi (telur infertil). Telur yang sudah
dibuahi memiliki ciri-ciri: oval, berdinding tebal, berwarna kekuning-kuningan
diliputi lapisan albuminoid yang tidak rata, isinya embrio yang belum masak.
Sedangkan telur yang belum dibuahi memiliki cirri-ciri: lonjong, lebih panjang,
dinding biasanya lebih tipis berisi granula(Soedarto,2011). Ciri-ciri telur
yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Rizqi,
sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi parasit Ascaris
lumbricoides.
Telur
Trichuris trichiura berukuran 50x25 µ, berbentuk mirip tempayan kayu atau
biji melon, berwarna cokelat, dan memiliki 2 kutub jernih yang menonjol
(Soedarto,2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat
pada pengamatan feses Rizqi, sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi
parasit Trichuris trichiura.
Morfologi
telur antar cacing tambang sulit dibedakan. Telur cacing tambang berbentuk
lonjong, dengan ukuran sekitar 64x40 µ. Telur tidak berwarna dan berdinding
tipis yang tembus sinar. (Soedarto 2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan
di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Rizqi, sehingga Rizqi dinyatakan
tidak terinfeksi parasit cacing tambang.
Telur cacing Strongyloides
stercoralis berukuran 55 x 30 µ, berbentuk lonjong mirip cacing tambang,
mempunyai dinding tipis dan transparan. Telur diletakkan di dalam mucosa usus,
kemudian menetas menjadi larva rabditiform, sehingga tidak ditemukan telur
dalam tinja. Larva rhabditiform mempunyai ukuran 200 – 250µ, memiliki esophagus
dan bulbus esophagus yang mengisi ¼ bagian anterior (Soedarto, 2011). Ciri-ciri
larva yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Rizqi,
sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi parasit Strongyloides
stercoralis
Dilihat dari tabel hasil 2 di atas, pemeriksaan feses Irfan menggunakan metode Harada Mori ditemukan larva parasit dalam praktikum ini. Berarti, Irfan diduga terinfeksi parasit cacing tambang.
Menurut
Shahid, dkk (2010), Harada Mori merupakan metode yang paling efektif untuk
mendeteksi cacing tambang. Terbukti bahwa metode Harada Mori memiliki
ketelitian lebih dibandingkan dengan metode pemeriksaan tinja yang lain dalam
mendeteksi cacing tambang. Jika dilakukan dengan benar, metode ini sensitif,
sederhana, ekonomis dan mudah dilakukan.
Manusia
merupakan hospes satu-satunya bagi cacing tambang. Telur cacing tambang spesies
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale sulit dibedakan satu
dengan yang lain, perbedaan hanya sedikit dalam hal ukurannya, yaitu Necator
americanus berukuran 64 x 36 µ, sedangkan Ancylostoma duodenale
berukuran 56 x 36 µ. Telur ini keluar bersama feses penderita, setelah 1-2 hari
akan menetas menjadi larva rabditiform. Setelah mengalami pergantian kulit 2
kali, larva rabditiform berubah menjadi larva filariform (Shahid dkk,
2010).
Larva
filariform cacaing tambang adalah larva infektif untuk manusia. Larva ini
berukuran 500 – 700 µ, tidak mempunyai rongga mulut dan bulbus esophagus
(Soedarto, 2011). Ciri-ciri larva yang telah disebutkan di atas terdapat pada
pengamatan feses Irfan dengan metode harada mori sehingga Irfan diduga
terinfeksi parasit cacing tambang.
Hasil positif pada metode Harada Mori yang dilaksanakan
dapat disebabkan oleh:
1. Faktor pendidikan: tingkat
pendidikan pasien yang masih rendah, sehingga pengertian terhadap kebersian dan
kesehatan pribadi serta lingkungan sangatlah rendah, misalnya kebiasaan buang
besar di sembarang tempat (di tanah), tidak menggunakan alas kaki dalam
kegiatan sehari-hari di luar rumah dan sering sekali tidak mencuci tangan
sebelum makan.
2. Faktor sosio-ekonomi: keluarga
pasien berpenghasilan rendah, sehingga menyebabkan ketidakmampuan untuk menyediakan
sanitasi perorangan maupun lingkungan. (Hairani dan Annida, 2012)
Gejala
infeksi cacing tambang dapat disebabkan oleh larva maupun cacing dewasa. Pada
saat larva menembus kulit terbentuk maculopapula dan erithema yang sering
disertai rasa gatal (ground itch). Migrasi larva ke paru dapat menimbulkan
bronchitis atau pneumonitis. Cacing dewasa yang melekat dan melukai mukosa usus
akan menimbulkan perasaan tidak enak di perut, mual dan diare. Seekor cacing
dewasa mengisap darah 0,2 – 0,3 ml/hari, sehinnga dapat menimbulkan anemia
progresif, hypokromik, mikrositer, type efisiensi besi. Biasanya gejala klinik
timbul setelah tampak adanya anemi, pada infeksi berat, haemoglobin dapat turun
hingga 2 gr %, sesak nafas, lemah dan pusing kepala. Kelemahan jantung dapat
terjadi karena perubahan pada jantung yang berupa hypertropi, bising katub
serta nadi cepat. Infeksi pada anak dapat menimbulkan keterbelakangan fisik dan
mental. Infeksi Ancylostoma duodenale lebih berat dari pada
infeksi oleh Necator americanus (Shahid dkk, 2010).
Oleh
karena itu, untuk dapat mengatasi infeksi
cacing secara tuntas, maka upaya pencegahan dan terapi merupakan usaha yang
sangat bijaksana dalam memutus siklus penyebaran infeksinya. Pemberian obat
anti cacing secara berkala setiap 6 bulan dapat pula dikerjakan. Menjaga
kebersihan diri dan lingkungan serta sumber
bahan pangan adalah merupakan sebagian dari usaha pencegahan untuk menghindari
dari infeksi cacing.
Memasyarakatkan cara-cara
hidup sehat, terutama pada anak-anak usia sekolah dasar, dimana usia ini
merupakan usia yang sangat peka untuk menanamkan dan memperkenalakan
kebiasaan-kebiasaan baru yaitu kebiasaan untuk melakukan
pemeriksaan kesehatan secara berkala seperti:
1.
Membudayakan kebiasaan dan perilaku pada diri sendiri,
anak dan keluarga untuk mencuci tangan sebelum makan.
2.
Memakai alas kaki jika menginjak tanah.
3.
Menggunting dan membersihkan kuku secara teratur.
4.
Tidak buang air besar sembarangan dan cuci tangan saat
membasuh.
5.
Bercocok tanam atau berkebun dengan baik.
6.
Peduli dengan lingkungan.
7.
Mencucilah sayur dengan baik sebelum diolah.
8.
Berhati-hati saat makan makanan mentah atau setengah
matang, terutama di daerah yang sanitasinya buruk.
9.
Membuang kotoran hewan peliharaan kesayangan pada
tempat pembuangan khusus.
10. Melakukan pencegahan dengan
meminum obat anti cacing setiap 6 bulan, terutama bagi yang risiko tinggi
terkena infestasi cacing, seperti petani, anak-anak yang sering bermain pasir,
pekerja kebun, dan pekerja tambang (orang-orang yang terlalu sering berhubungan
dengan tanah.
11. Jika penyakit kecacingan ini
sudah menjangkit sebaiknya dilakukan pengobatan dengan cara penanganan untuk mengatasi infeksi cacing dengan
obat-obatan merupakan pilihan yang dianjurkan. Obat anti cacing golongan pirantel pamoat (combantrin dan lain-lain)
merupakan anti cacing yang efektif untuk mengatasi sebagian besar infeksi yang
disebabkan parasit cacing. Intervensi berupa pemberian obat cacing (obat pirantel
pamoat 10 mg/ kg BB dan albendazole 10 mg/kg BB) dosis tunggal diberikan tiap 6
bulan pada anak untuk mengurangi angka kejadian infeksi ini pada suatu daerah.
Paduan yang serasi antara upaya prevensi dan terapi akan memberikan tingkat
keberhasilan yang memuaskan, sehingga infeksi cacing secara perlahan dapat
diatasi secara maksimal, tuntas dan paripurna. (Athiroh, 2005)
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang
telah dilakukan, maka dapat saya simpulkan sebagai berikut:
1.
Hasil yang didapat dari pemeriksaan metode apung (dengan dan tanpa
disentrifugasi) adalah negatif, yang artinya bahwa tidak ditemukan telur dalam feses yang telah di periksa sehingga diduga pasien tidak terinfeksi
cacing.
2.
Hasil yang didapat dari pemeriksaan metode Harada mori adalah positif, yang artinya bahwa ditemukan larva dalam tinja yang telah di periksa sehingga pasien diduga terinfeksi cacing tambang.
3.
Bentuk telur,
larva, atau cacing parasit berbeda-beda, masing-masing memiliki morfologi yang
khas yang membedakan cacing yang satu dengan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Athiroh, N. 2005. Petunjuk
Praktikum Parasitologi. Malang: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Islam
Malang.
Gandahusada, S.W. Pribadi dan
D.I. Herry. 2000. Parasitologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Jakarta.
Hairani, Budi dan Annida.
2012. “Insidensi Parasit Pencernaan pada Anak Sekolah Dasar di Perkotaan dan
Pedesaan di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Jurnal Epidemiologi
dan Penyakit Bersumber Binatang, Volume 4(2): 102-108.
Kadarsan,S. 2005. Binatang Parasit. Bogor: Lembaga
Biologi Nasional-LIPI.
Palgunadi, Bagus Uda. 2010.
“Faktor-Faktor Yang Mempengruhi Kejadian Kecacingan Yang Disebabkan Oleh
Soil-Transmitted Helminth Di Indonesia”, Jurnal, Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Shahid, dkk. 2010. ”Identicifation
of Hookworm Species in Stool By Harada Mori Culture”, Bangladesh J Med
Microbiol, Volume 04(02): 03-04.
Siregar, Charles D. 2006.
“Pengaruh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Tanah pada Pertumbuhan
Fisik Anak Usia Sekolah Dasar”. Sari Pediatri, Volume 8(2): 112-117
Soedarto, 2011. Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran. Jakarta: CV Agung Seto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar